Hanya akan ada dua hal yang dapat menyertai sebuah penemuan harta karun. Keberkahan karena mendapatkan harta yang berlimpah atau justru malapetaka karena tak seharusnya kami menggalinya. Ini hanyalah kisah yang ditulis saat tenaga untuk menceritakannya sudah tidak ada, perjalanan penuh cerita kami dalam menentukan kandidat terbaik untuk calon Desa Energi Berdikari. Dramatis, namun itu adanya.
Kota ini luas ya, ternyata. Rumor yang menyatakan bahwa luas kota ini menyaingi negara singa berbadan duyung ternyata tidak salah juga. Kami pun masih terpana. Namun ada banyak hal yang mengganjal untuk ditanya, benarkah ini jalannya? Atau seharusnya kita balik kanan saja? Tangis, pusing, jalan buntu, sakit perut, keringat mengucur bak air terjun—sepertinya itu adalah ciri-ciri anak Sobat Bumi yang sedang mencari calon kandidat terbaik untuk Desa Energi Berdikari.
Waktu yang kami punya tidak banyak, namun ada banyak sekali tempat untuk ditelik dan dikunjungi barang sebentar, sekadar menjejakkan kaki di jenis tanah yang amat sangat berbeda dengan di kota—tempat aspal hitam dan asap kendaraan berada. Desa yang kami kunjungi pertama kali adalah sebuah desa dengan sapi yang banyaknya hampir menyamai jumlah penduduknya. Desa yang kaya akan peternak dan ternaknya, dan rencana awal kami adalah memanfaatkan limbah kotoran sapi menjadi produk biogas yang dapat dimanfaatkan warganya.
Jalannya aneh. Semakin aneh saat motor-motor kami melaju lebih jauh, ada jalan yang terbelah dua, tidak, bahkan tiga? lima? Jalan itu terbelah seakan-akan petir dari palu Thor baru saja salah sasaran. Seluas mata memandang hanya ada pepohonan yang terlihat jauh dan ladang padi yang mengering terhampar, mungkin karena gelombang panas yang sedang menyerbak sekarang, atau mungkin juga karena mereka telah selesai dengan masa bercocok tanam.
Semua itu masih tetap terlihat asri, dan pemandangan berbeda di depan kami membuat decakan kami semakin tak berhenti, ada sebuah lahan besar dengan ukuran yang kami sendiri tak bisa memprediksikannya, setelah tikungan jalan berbatu di sebelah ladang durian, ada sebuah waduk tak terisi air, tanaman liar tumbuh di bawahnya, itu indah, sangat indah, siapapun yang melihatnya pasti merasa sedikit ketenangan dalam hatinya, di sandingkan dengan pemandangan di sisi jalan yang lain dengan padang rumput yang memanjakan mata dengan warna hijaunya.
Tak jauh, kami tiba di sebuah lahan yang tertanda milik sebuah perusahaan. Sejauh mata memandang, di atas tanah gersang, hanya ada kandang-kandang ternak beserta tumpukkan jerami yang kami asumsikan adalah persediaan pakan. Dan saat menapakkan kaki pertama kali, hal yang menyambutku dengan hangat adalah kotoran sapi—yang terparkir ayu di bawah kendaraan bermotor kami. Hangat, sedikit lembek, Kak Hafidz memberitahuku dengan sangat baik, aku melihat sol sepatuku dan tersenyum tersanjung. Terima kasih situbolang, untuk sambutannya.
Kami bertemu dengan bapak Syang menyambut kami tak kalah hangat. Beliau adalah bos dari tiga kandang yang kami lihat di awal, karena yang kami tuju adalah kotoran sapi untuk diolah menjadi biogas, isi galeri foto kami pun tak jauh dari itu. Dikarenakan masih dikejar waktu, kami memutuskan untuk berpamitan setelah meminta foto bersama dengan bapak S. Bapak S hanya berpesan agar fotonya dapat diedit, ia ingin terlihat lebih putih katanya, siap laksanakan, pak!
Tapi, nyatanya foto itu tidak pernah sempat diedit, mentor kami tidak merasa cocok dengan tempat yang sudah kami cari dengan usaha kami sendiri, hanya ada tiga hari menuju pengumpulan terakir, dan desa yang sudah sulit-sulit kami tempuh dengan jarak satu jam setengah dari kota dijatuhkan begitu saja. Itu bukanlah hambatan bagi kami.
Semangat kami banyaknya terkikis, keluar dari kantor yang terasa sejuk itu yang bisa kami rasa adalah panas dan yang dapat kami renungkan hanyalah seberapa pedas kalimat mentor kami mengatakan, kami tidak memiliki persiapan dan waktu yang cukup, stakeholder pun akan menjadi masalah yang cukup rumit untuk kami, beliau bilang, kami hanya akan gagal. itu hanya akan membuat malu kampus. Itu terasa tak adil, daripada menyalahkan kami yang tak berpengalaman.
Kalian berpikir kami akan menyerah? Tidak.
Tiga hari berlalu dengan singkat, sesingkat paragraf ini harus cukup menjadi closing dan conclusion. Desa Langgen akhirnya menjadi salah satu pengetahuan baru untuk kami, desa yang harus melalui jalan tiga periode kehidupan ada aspal hitam, jalan yang berkerikil panjang, dan jembatan bambu yang ber-kreyot lihai—mengantarkan kami kepada desa dipinggir pantai yang mayoritas masyarakatnya adalah nelayan. Loh, nelayan mengapa berujung pengolahan limbah? Penjelasannya panjang. lanjut part 2.
Part 1 hanya akan berisi misi 5 tahun kedepan yang akan menjadikan olahan ikan sebagai makanan khas kabupaten kami, dan ikan-ikan itu berasal dari sini. Warga yang masih sangat dekat dengan satu sama lain akan memudahkan kami untuk membentuk sebuah projek bersama, yaitu mengolah limbah yang ada. Kami memang dihadapkan dengan lebih banyak tantangan lagi, namun tanpa kami sadari, itu semua yang mendekatkan kami satu sama lain.
Dan sore itu, saat kami baru meluruskan kaki sambil menyantap nasi kotak perayaan selesainya tetek-bengek seleksi DEB, kak Aisyah meminta kami untuk ikut menghadiri acara Peresmian Sekolah Energi Berdikari di Cirebon, acaranya jam 8 pagi dan kami sudah harus sampai sana sebelum itu, ditambah kendaraan dan materi presentasi yang harus kami siapkan sendiri sama sekali belum terpikirkan,
Waduh.
Sampai jumpa lain waktu dalam petualangan kami untuk menemukan lebih banyak lagi harta karun di kabupaten kota yang belum banyak didengar orang ini.
Zakkiya Zarin R