Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang banyak terpapar sinar matahari dimana sinar matahari di daerah Indonesia lebih panas jika dibandingkan dengan daerah yang tidak terkena paparan sinar matahari. Oleh sebab itu, Indonesia memiliki potensi untuk memanfaatkan sumber daya panas matahari menggunakan sebuah alat yang bernama panel surya.
Panel surya merupakan suatu sistem yang dapat mengubah energi panas sinar matahari menjadi listrik dengan menggunakan efek Photovoltaic. Energi dalam bentuk listrik dapat disimpan menggunakan baterai dan di Indonesia dikenal dengan nama PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya).
Kebutuhan Listrik di Indonesia pada tahun 2019 sebesar 0,21% dihasilkan oleh PLTS sekitar 145 MW. Dengan daya sebesar itu, hanya mampu mencukupi 140.000 rumah dengan rata-rata daya sekitar 1.000 VA. Oleh karena itu, Indonesia menargetkan 6,5 GW pada tahun 2025 karena Indonesia memiliki potensi sebesar 207.989 MW atau setara dengan 207 GW.
Kekuatan energi listrik di Indonesia diharapkan dapat menjadi solusi untuk setiap rumah yang menggunakan panel surya, namun dengan harga saat ini masih tergolong tinggi di kalangan masyarakat dengan 1 KWp dibanderol dengan harga 14 juta untuk varian tertentu dan perlu diketahui bahwa penggunaan dan pemasangan panel surya harus menggunakan cara tertentu yang dipengaruhi oleh potensi rumah seperti kondisi geografi atau tata letak rumah, pemukiman yang diapit bangunan, dan durasi lama tidaknya rumah tersebut terkena sinar matahari.
Meskipun panel surya merupakan teknologi lama yang pertama kali diciptakan pada tahun 1973 di University of Delaware Amerika Serikat, namun teknologi ini termasuk teknologi energi terbarukan yang memiliki banyak potensi serta dapat menjadi langkah yang tepat untuk mengurangi emisi di dunia. Saat ini panel surya merupakan teknologi yang cukup efektif dan portable jika dilihat dari proses pemasangan dan pemanfaatannya. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, panel surya ini menggunakan Photovoltaic. Photovoltaic merupakan suatu sistem atau cara langsung dimana energi cahaya datang dan mengenai permukaan sel surya akan ditangkap kemudian dapat diubah menjadi energi listrik.
Sel surya dapat menggunakan bahan dari Mono-Si, Multi-Si, Ribbon-Si, dan masih banyak lagi. Namun untuk saat ini bahan yang biasa digunakan untuk sel surya pada panel surya adalah Mono-Si atau Monocrystalline, Jika dibandingkan dengan bahan lainnya seperti Polycrystalline atau Monocrystalline maka jauh lebih unggul dalam beberapa hal berikut ini.
- Monocrystalline mempunyai jenis sel surya yang terbuat dari bahan silikon tunggal (mono). Sedangkan Polycrystalline terbuat dari campuran jenis silikon.
- Panel surya mono biasanya lebih mahal dibandingkan poli.
- Berdasarkan ketahanan suhunya, panel mono lebih efisien pada suhu tinggi dan sebaliknya panel poli tidak efisien bila digunakan pada suhu yang terlalu tinggi suhu.
- Panel mono membutuhkan luas pada kisaran 6-9 m2 per kWp. Sedangkan poli panel membutuhkan luas antara 8-9 m2 per kWp.
- Panel mono berwarna hitam sehingga menambah nilai estetika. Sedangkan panel poli berwarna kebiruan.
- Panel mono memiliki tingkat efisiensi sebesar 15-20%, sedangkan panel poli sebesar 13-18%.
Sinar matahari terdiri dari partikel-partikel yang sangat kecil yang sering disebut dengan foton. Foton-foton ini nantinya akan mengenai bagian atom yang terdiri dari sel surya semikonduktor silikon. Ledakan yang terjadi akibat tumbukan foton akan menimbulkan energi yang sangat besar dan mampu memisahkan elektron dari struktur atom penyusunnya. Pada kondisi ini listrik dapat dihasilkan dengan arus DC, kemudian dengan bantuan inverter listrik dapat diubah menjadi listrik arus AC.
Dan mengapa kita perlu mengetahui tentang teknologi ini?
Manfaat panel surya sendiri cukup berdampak pada kehidupan seperti mampu menekan pengeluaran listrik rumah tangga, mudah dalam pemasangannya, dan yang terpenting ramah lingkungan. Oleh karena itu, pengetahuan tentang teknologi panel surya penting untuk difahami manfaatnya dalam mengurangi ketergantungan pada energi fosil, menghemat energi, serta menjaga lingkungan.
Josua Asian Sinaga
(STT MIGAS-Sobat Bumi Benua Etam)